RETENSIO
PLASENTA
Disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Pembimbing: Endang Suwanti,
S.SiT., M. Pd.
Disusun
Oleh:
Nabila
Ayu Farhana P27224014052
Nurzubaidah P27224014053
Nur
Hidayati P27224014054
Omegani
Christania R P27224014055
Prehadining
Kuncoro Jati P27224014056
Qonitah
Auliya’a A P27224014057
Rizani
Heru Putri P27224014059
Rizky
Amalia P27224014060
Rizqi
Amalia Istiqomah P27224014061
Rona
Meiga Anisyarifah P27224014062
DIII
Kebidanan Reguler B Semester IV
Politeknik
Kesehatan Kementrian Kesehatan Surakarta
Tahun
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Rencana pembangunan kesehatan
menuju Indonesia sehat 2010 mempunyai visi dan misi. Misinya adalah kehamilan
dan persalinan tetap berlangsung aman, sedangkan Visinya adalah menurunkan
angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) (saifuddin, 2002).
Kematian maternal adalah
kematian wanita saat hamil, melahirkan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya
kehamilan,tingkat kematian maternal (maternal mortality rate) atau angka
kematian ibu (AKI) sangat tinggi. Pemerintah telah mencanangkan upaya
keselamatan ibu (safe mother hood initiative) untuk mengamankan pera ibu hamil
, melahirkan dan sesudah nya menuju kekeluarga sehat dan sejahtera (Sarwono,
2005).
Berdasarkan penyebab
perdarahan, salah satunya disebabkan oleh Retensio Plasenta dengan frekuensi
(16-17%) dan penyebab yang lain yaitu Atonia Uteri dengan frekuensi (50-60%),
laserasi jalan lahir dengan frekuensi (23-24%), pembekuan darah dengan
frekuensi (0,5-0,8%) (Geocities, 2006).
Sedangkan data yang terkumpul
dari World Health Organization (WHO), angka kematian maternal di Negara maju
yaitu 5-10/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan di Negara berkembang berkisar
antara 750-1000 per 100.000.Tingkat kematian maternal di Indonesia di
perkirakan sekitar 450 per 100.000 kelahiran hidup (Wiknjosastro, 2005).
Angka kematian ibu melahirkan
di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Dalam 100000 proses
persalinan, sedikitnya 307 ibu meninggal dunia di Indonesia. Ini berarti dari
352 ibu bersalin meninggal tiap minggunya atau terdapat dua ibu meninggal tiap
jamnya, langkah utama yang paling penting untuk menurunkan angka kematian ibu
adalah mengetahui penyebab utama kematian (Saptandari. P, 2009).
Dalam Angka Kematian Ibu (AKI)
dikenal istilah (3T) (Terlambat) dan 4T (Terlalu).Istilah 3T yaitu terlambat
mengenali tanda bahaya dan memutuskan untuk mencari pertolongan ke fasilitas
pelayanan kesehatan: terlambat dalam mencapai fasilitas kesehatan yang
memadai;dan terlambat dalam menerima pelayanan kesehatan yang cukup memadai di
setiap tingkatan.Sedangkan istilah 4T yaitu terlalu muda untuk menikah,terlalu
sering atau terlalu banyak melahirkan,terlalu dekat jarak kehamilan dan terlalu
tua untuk hamil.
Di Sumatera
Utara angka kematian ibu lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata
nasional. Sampai saat ini rata-rata angka kematian ibu di Sumatera Utara
sebanyak 330 per 100.000 kelahiran,sedangkan rata-rata nasional adalah 307 per
100.000 kelahiran (Khairudin, 2009).
Sebagian besar
penyebab kematian ibu secara langsung sebesar 90 %,juga diakibatkan oleh
komplikasi yang terjadi saat persalinan dan segera setelah bersalin.Penyebab
tersebut dikenal dengan Trias Klasik yaitu : perdarahan (285), eklamsi (24%),
dan infeksi (11%) (Depkes, 2008).
Data yang
terkumpul dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), angka kematian ibu
(AKI) di Indonesia pada tahun 2005 yaitu 262/100.000 kelahiran hidup.Diharapkan
pada tahun 2010, AKI menurun menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes,
2004).
Berdasarkan
penyebab perdarahan, salah satunya di sebabkan oleh Retensio Plasenta dengan
frekuensi (16-17%) dan penyebab yang lain yaitu Atonia Uteri dengan frekuensi
(50-60%), laserasi jalan lahir dengan frekuensi (23-24%), pembekuan darah
dengan frekuensi (0,5-0,8%) (Geocities,2006).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan retensio plasenta?
2. Apa saja
klasifikasi retensio plasenta?
3. Apa faktor
etiologi dari retensio plasenta?
4. Bagaimana
efek patologis retensio plasenta?
5. Bagaimana
mendiagnosis ibu dengan retensio plasenta?
6. Bagaimana
upaya pencegahan dan penanganan retensio plasenta?
7. Bagaimana
karakteristik ibu bersalin dengan retensio plasenta?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui definisi retensio plasenta
2. Untuk
mengetahui klasifikasi retensio plasenta
3. Untuk
mengetahui faktor etiologi retensio plasenta
4. Untuk
mengetahui efek patologis retensio plasenta
5. Untuk
mengetahui cara mendiagnosis ibu dengan retensio plasenta
6. Untuk
mengetahui upaya pencegahan dan penanganan retensio plasenta
7. Untuk
mengetahui karakteristik ibu bersalin dengan retensio plasenta
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Definisi
Retensio Plasenta adalah belum
lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam. Keadaan ini dapat diikuti
perdarahan yang banyak , artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas
sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera ( Manuaba, 2008).
Selanjutnya menurut Kunsri (2007) Retensio plasenta adalah terlambatnya
kelahiran plasenta selama setengah jam setelah persalinan bayi, dapat terjadi
retensio plasenta berulang ( habitual retension ) oleh karena itu plasenta
harus di keluarkan karna dapat menimbulkan bahaya perdarahan.
B.
Klasifikasi
Berdasarkan
tempat implantasinya retensio plasenta dapat di klasifikasikan menjadi 5 bagian
:
1. Plasenta Adhesiva
Kontraksi
uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta plasenta dan melekat pada desidua
dan melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
2.
Plasenta Akreta
Implantasi jonjot korion
plasenta hingga memasuki lapisan miometrium yang menembus lebih dalam
miometrium tetapi belum menembus serosa.
3.
Plasenta Inkreta
Implantasi jonjot korion
plasenta hingga mencapai atau memasuki miometrium , dimana vili khorialis
tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium .
4. Plasenta Perkreta
Implantasi jonjot khorion
plsenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa di uterus,
yang menembus serosa atau peritoneum dinding rahim .
5. Plasenta Inkarserata
Tertahannya
plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh kontraksi ostium uteri (Sarwono,
2005).
C.
Faktor Etiologi
Adapun faktor
penyebab dari retensio plasenta adalah :
1. Plasenta
belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh dan melekat lebih dalam .
2. Plasenta
sudah terlepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan meyebabkan
perdarahan yang banyak atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim
yang akan menghalangi plasenta keluar .
3. Bila
plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila
sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan (Mochtar, 1998).
Apabila terjadi perdarahan post
partum dan plasenta belum lahir, perlu di usahakan untuk melahirkan plasenta
dengan segera . Jikalau plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan
akibat atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir. Pada
perdarahan karena atonia uterus membesar dan lembek pada palpasi, sedang pada
perdarahan karena perlukaan jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik
(Wiknjosastro, 2005).
D.
Patogenesis
Retensio
plasenta dan manajemennya (pengangkatan manual plasenta) dapat memberikan efek
negatif pada kualitas kontak ibu dengan bayi yang dilahirkan maupun kesehatan
post partumnya. Retensio plasenta, dapat juga mengurangi waktu yang dihabiskan
untuk berdekatan, menyusui dan berkenalan dengan bayi barunya serta dalam
jangka panjang bisa menyebabkan ibu anemis dan nyeri. Pada kasus berat dapat
menyebabkan perdarahan akut, infeksi, perdarahan post partum sekunder,
histerektomi, dan bahkan kematian maternal. Retensio plasenta terjadi pada 3%
kelahiran pervaginam sedangkan 15% retensio plasenta adalah ibu yang pernah
mengalami retensio plasenta (Chapman, 2006).
E.
Diagnosis
Tanda-tanda
gejala yang selalu ada yaitu plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan
segera, kontraksi uterus baik. Gejala yang
kadang-kadang timbul :
1. Tali
Pusat putus akibat kontraksi berlebihan.
2. Inversio uteri akibat
tarikan.
3. Perdarahan lanjutan.
Dijumpai pada kala tiga atau
post partum dengan gejala yang nyeri yang hebat perdarahan yang banyak sampai
syok. Apalagi bila plasenta masih melekat dan sebagian sudah ada yang terlepas
dan dapat terjadi strangulasi dan nekrosis ( Geocities, 2006 ).
Diagnosis biasanya tidak
sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek, tetapi
bila perdarahan sedikit dalam waktu lama. Tanpa disadari penderita telah
kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernapasan menjadi
lebah cepat dan tekanan darah menurun, jika perdarahan berlangsung terus
menerus dapat menimbulkan syok. perdarahan yang banyak bisa juga meyebabkan
syndrom Sheehan sebagai akibat nekrosis. gejala gejalanya adalah asthenia,
hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan penurunan fungsi
seksual, kehilangan rambut pubis dan ketiak (Sarwono, 2002)
F.
Pencegahan dan Penanganan Retensio Plasenta
1.
Pencegahan
Manajemen Aktif Kala III
a.
Oksitosin 10U im
b.
Peregangan Tali
Pusat Terkendali
c.
Masase uterus
segera setalah plasenta lahir
2. Penanganan
Jika plasenta
belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan 10 IU oksitosin IM dosis ke 2.Periksa kandung kemih, jika penuh gunakan teknik aseptic untuk memasukkan
kateter nelaton disinfeksi tingkat tinggi atau steril untuk mengosongkan
kandung kemih. Ulangi kembali penanganan tali pusat dan tekanan dorso cranial.
Apabila tersedia akses dan mudah menjangkau fasilitas kesehatan rujukan maka
nasehati keluarga bahwa mungkin ibu perlu dirujuk apabila plasenta belum lahir
setelah 30 menit bayi lahir. Pada menit ke 30 coba lagi melahirkan plasenta
dengan melakukan penanganan tali pusat untuk terakhir kalinya. Jika plasenta
tidak lahir, segera rujuk.
Tetapi apabila
fasilitas kesehatan rujukan sulit dijangkau dan kemudian timbul perdarahan maka
sebaiknya lakukan tindakan plasenta manual. Untuk melakukan hal tersebut,
pastikan bahwa petugas kesehatan telah terlatih dan kompeten untuk melaksanakan
tindakan atau prosedur yangdiperlukan.
Perhatikan : Jika plasenta belum lahir dan mendadak terjadi perdarahan maka, segera lakukan tindakan plasenta manual untuk segera mengosongkan cavum uteri. Jika paska tindakan tersebut masih ada perdarahan maka lakukan kompresi bimanual internal atau ekstrnal, atau kompresi aorta. Beri oksitosin 10 unit dosis tambahan dan misoprostoll 600-1000 mcg/rectal. Tunggu hingga uterus hingga berkontraksi kuat dan perdarahan berhenti, baru hentikan tindakan kompresi.
Perhatikan : Jika plasenta belum lahir dan mendadak terjadi perdarahan maka, segera lakukan tindakan plasenta manual untuk segera mengosongkan cavum uteri. Jika paska tindakan tersebut masih ada perdarahan maka lakukan kompresi bimanual internal atau ekstrnal, atau kompresi aorta. Beri oksitosin 10 unit dosis tambahan dan misoprostoll 600-1000 mcg/rectal. Tunggu hingga uterus hingga berkontraksi kuat dan perdarahan berhenti, baru hentikan tindakan kompresi.
Selain
pemberian obat-obatan, dapat dilakukan penanganan dengan teknik :
1. Plasenta Manual
Plasenta manual merupakan
tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta, teknik operasi
plasenta manual tidaklah sukartetapi harus dipikirkan jiwa penderita. Kejadian
retensio plasenta berkaitan dengan :
a.
Grande multipara dengan
implantasi plasenta dalam bentuk plasenta adhesive inkreta dan plasenta
perkreta .
b.
Mengganggu
kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
c.
Retensio
plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan yaitu darah penderita terlalu
banyak hilang, dan keseimbangan baru terbentuknya bekuan darah sehingga
perdarahan tidak terjadi, kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam .
d.
Plasenta manual
dengan segera dilakukan karena terdapat riwayat perdarahan post partum berulang
, pada pertolongan persediaan dengan narkosa plasenta belum lahir setelah
menunggu selama setengah jam ( Manuaba , 1998 ).
Komplikasi Tindakan Plasenta Manual
a. Terjadinya perforasi uterus
b. Terjadinya infeksi : terdapat sisa plasenta atau membran dan bakteri
terdorong kedalam rongga rahim .
c. Terjadinya perdarahan karena atonia uteri ( Manuaba, 1998 ).
2. Tindakan Crade
Tindakan ini
banyak dianjurkan karena memungkinkan terjadinya inversion uteri . Salah satu
cara untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt yaitu plasenta
manual , dengan cara salah satu tangan penolong memegang tali pusat dekat
vulva, tangan yang lain diletakkan pada dinding perut, sehingga permukaan
palmar jari jari tangan terletak dipermukaan depan rahim ( Saifuddin , 2005).
Banyak
kesulitan yang dialami dalam pelepasan plasenta, plasenta hanya dapat
dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahanserta perforasi
mengancam. Apabila berhubungan dengan kesulitan kesulitan tersebut akhirnya
diagnosis plasenta inkreta dibuat, sebaiknya usaha mengeluarkan plasenta secara
bimanual dihentikan, lalu diusahakan histerektomi ( Saifuddin , 2005 ).
G. Karakteristik Ibu Bersalin Dengan Retensio Plasenta
Adapun
karakteristik ibu bersalin dengan retensio plasenta adalah :
1.
Umur
Harlock (1999)
dan Balai Pustaka (2002) mengatakan bahwa, umur adalah indeks yang menempatkan
individu dalam urutan atau lamanya seorang hidup dari lahir sampai mengalami
retensio plasenta. Faktor yang mempengaruhi tingginya kematian ibu adalah umur,
masih banyaknya terjadi perkawinan dan persalinan diluar kurun waktu reproduksi
yang sehat adalah umur 20-30 tahun. Pada Usia muda resiko kematian maternal
tiga kali lebih tinggi pada kelompok umur kurang dari 20 tahun dan kelompok
umur lebih dari 35 tahun (Mochtar, 1998). Tingginya Angka Kematian Ibu pada
usia muda disebabkan belum matangnya organ reproduksi untuk hamil sehingga
dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin.
(Manuaba, 1998).
Hal ini
merupakan ancaman bagi ibu yang ham9l maupun melahirkan. Pada umur ibu yang
lanjut (usia >35 tahun) sering terjadi retensio plasenta (Chalik, 1998).
Dilihat dari usia ibu yang tua terjadi kemunduran organ-organ reproduksi secara
umum sehingga dapat pula mempengaruhi perkembangan janin dalam kandumgan (
Prawirohardjo, 2001).
2.
Paritas
Paritas lebih
dari 3 mempunyai angka kematian lebih tinggi, lebih tinggi paritas lebih tinggi
kematian maternal. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya retensio
plasenta adalah sering dijumpai pada multipara dan grande multipara ( Sarwono,
2005).
Multipara
adalah seorang ibu yang pernah melahirkan bayi beberapa kali ( samapi 5 kali),
sedangkan grande multipara adalah seorang ibu yang pernah melahirkan bayi 6
kali atau lebih, hidup atau mati ( Sarwono, 2005 ).
Insiden
perdarahan post partum dengan retensio plasenta, faktor resiko yang berpengaruh
terhadap kejadian ini adalah multiparitas ( paritas > 3 ), faktor resiko
lebih dari 3 dapat meningkatkan resiko hampir 5 kali dibandingkan dengan 2
faktor resiko ( Geocities, 2006 ).
Menurut Ramali
(1996) paritas adalah banyaknya kehamilan dan kelahiran hidup yang dimiliki
seorang wanita pada grande multipara yaitu ibu dengan jumlah kehamilan dan
persalinan lebih dari 5 kali masih banyak terdapat resiko kematian maternal
dari golongan ini adalah 8 kali lebih tinggi dari yang lainnya (Mochtar, 1998).
Adapun paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian
maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (>3) mempunyai angka kematian
maternal lebih tinggi, semakin tinggi paritas maka cenderung akan semakin
meningkat pula kematian maternal dan perinatal ( Prawirohardjo, 2002).
Menurut Oxorn (2003), Manuaba
(1998) dan Chalik (1998) mengatakan bahwa, angka kejadian pada multiparitas
lebih tinggi resiko terjadinya perlengketan plasenta yang lebih dalam pada
rahim namun pada primigravida hampir tidak ditemui.
3.
Interval
Kelahiran Anak
Usaha pengaturan jarak
kelahiran akan membawa dampak positif terhadap kesehatan ibu dan janin.Interval
kelahiran adalah selang waktu antara dua persalinan (Ramali, 1996). Perdarahan
postpartum karena retensio plasenta sering terjadi pada ibu dengan interval kelahiran
pendek (<2 tahun ), seringnya ibu melahirkan dan dekatnya jarak kelahiran
mengakibatkan terjadinya perdarahan karena kontraksi rahim yang lemah (Chalik.
MTA, 1998).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam penanganan retensio plasenta seorang bidan harus
memiliki keterampilan dan harus bisa mendeteksi secara dini serta mengetahui
tanda-tanda komplikasi terjadinya retensio plasenta. Retensio plasenta jika
tidak ditangani dengan sebaik-baiknya akan menyebabkan kematian pada ibu.
Retensio plasenta adalah tidak lahirnya plasenta lebih dari 30 menit dan hal ini
diakibatkan tertinggalnya sisa plasenta di tempat penanaman plasenta. Bisa mencegah
dengan melakukan upaya promosi dengan penerimaan keluarga berencana sehingga
memperkecil retensio plasenta, meningkatkan penerimaan pertolongan persalinan
dengan tenaga kesehatan yang terlatih, pada pertolongan persalinan kala III
tidak diperkenankan untuk melakukan masase dengan tujuan mempercepat proses
persalinan plasenta. Masase yang tidak tepat waktu dapat mengacaukan kontraksi
otot rahim dan mengganggu pelepasan
plasenta.
B.
Saran
Setelah
membaca dan memahami isi dalam makalah ini diharapkan para pembaca agar :
1. Memahami
pengertian retensio plasenta
2. Memahami dan
mengetahui apa saja klasifikasi retensio plasenta
3. Dapat
mengetahui karakteristik ibu bersalin dengan retensio plasenta
4.
Memahami dan dapat menerapkan asuhan
yang harus dilakukan pada retensio plasenta
DAFTAR
PUSTAKA
Ø
Manuaba, G. 1998. Ilmu
Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan.
Jakarta : EGC
Ø
Wiknjosastro, Hanifa.
2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Ø
Yeyeh, A. R. 2010. Asuhan Kebidanan
IV (Patologi Kebidanan). Jakarta : TIM
Ø Cunningham, FG., Gant, NF., Leveno, KJ., dkk. 2005. Perdarahan
Postpartum. Dalam : Obstetri Williams Vol. 1 (Ed. 21). Jakarta : EGC.
Ø Prawirohardjo, S. 2002. Perdarahan Paca Persalinan. Dalam :
Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
YBP-SP.
Ø Wiknjosastro, H., Saifuddin, AB., Rachimhadhi, T. 2007. Gangguan
Dalam Kala III Persalinan. Dalam : Ilmu Kebidanan (Ed. 3). Jakarta :
YBP-SP.